Inilah Dampak Depresi terhadap Gangguan Psikosomatis pada Lambung

inilah-dampak-depresi-terhadap-gangguan-psikosomatis-pada-lambung

Depresi dan stres merupakan hal yang dapat dialami oleh siapapun, dan jumlah kejadiannya dapat dibilang cukup tinggi pada usia remaja dan dewasa muda. Belum matangnya pemikiran, adaptasi gaya hidup, dan peristiwa-peristiwa traumatis menjadi pemicu utama munculnya stres hingga depresi. Teman sendiri ataupun orang-orang terdekat kita mungkin pernah mengalami depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya akibat stres berlebih. Gangguan mental ini kemudian nampak mempengaruhi kesehatan penderitanya secara keseluruhan. Mulai dari sering munculnya sakit kepala, serangan maag, bahkan hingga gangguan jantung.


Penelitian ilmiah terkait hubungan antara depresi dengan kondisi fisik tubuh penderitanya memang sudah banyak dilakukan. Para ahli mengklasifikasikan Kondisi ini sebagai gangguan psikosomatis. Secara harfiah, gangguan psikosomatis didefinisikan dari dua kata yaitu psyche (yang berarti pikiran), dan soma (yang berarti tubuh). Maka dari itu, ketika suatu gangguan atau perubahan kondisi fisik terjadi akibat adanya tekanan mental (psikis), maka gangguan fisik tersebut disebut sebagai gangguan psikosomatis.


Dikutip dari Alodokter, gangguan psikosomatis (atau “penyakit fungsional” dalam istilah psikologis) merupakan kondisi psikis yang menyebabkan suatu masalah pada fungsi tubuh, misalnya nyeri maag dan jantung berdebar. Kendati demikian, kondisi ini dapat terjadi pula tanpa ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang seperti rontgen dan pemeriksaan darah.


Mengapa Pikiran Kita Bisa Mempengaruhi Kondisi Fisik Tubuh, Termasuk Lambung?
Fungsi tubuh sejalan dengan sinyal yang dikirimkan otak kita

Tahukah teman bahwa, sepanjang hari otak kita bekerja untuk mengirimkan sinyal-sinyal pada seluruh bagian tubuh untuk menopang kehidupan kita? Sinyal yang diberikan otak merupakan penentu reaksi dan aktivitas dari tiap fungsi organ. Inilah yang menjadi dasar bahwa pikiran dan mindset seseorang akan menentukan kesehatan tubuhnya, atau bisa kita sebut juga ‘the power of mind keep your body healthy’. Sebagai contoh sederhana, saat kita dalam kondisi kaget, cemas, ataupun takut, kita akan menunjukan reaksi berupa jantung berdebar, berkeringat dingin, bulu kuduk yang terangkat, bahkan sakit perut, kan? Nah, dalam istilah medis, reaksi psikologis tubuh seperti itu disebut pula sebagai fight-or-flight response.


Sistem pencernaan adalah otak kedua kita


Para ilmuan dan ahli medis sering sekali menyebut-nyebut sistem pencernaan kita sebagai ‘the second brain’ atau otak kedua di tubuh kita. Mungkin teman terheran-heran akan maksud dari istilah tersebut, ya? Hampir sama dengan contoh fight-or-flight response yang telah dijelaskan di atas, saat kita mengalami kondisi psikologis tertentu (misalnya saat stres melanda), kita juga akan merasakan ‘sesuatu’ di perut kita, atau yang biasa kita sebut dengan ‘butterfly in the stomach’. Respon fisik organ internal yang kita rasakan ternyata memang tercetus dari sinyal komunikasi yang ditangkap organ pencernaan dari otak. Sinyal ini dapat berupa impuls listrik melalui sistem saraf ataupun melalui pengeluaran hormon. Maka dari itu, kondisi pikiran kita dapat mempengaruhi perut sebagaimana kondisi perut yang juga dapat mempengaruhi mood kita.



Apa Saja Gangguan Psikosomatis yang Terjadi Akibat Depresi dan Stres


Tekanan hidup dan depresi yang menumpuk dan tidak segera ditangani tentunya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup penderitanya. Dikutip dari Psychology Today, suatu studi menunjukan bahwa hingga 20 persen pasien yang memeriksakan diri ke dokter umum ternyata mengalami gangguan kesehatan fisik yang disebabkan akibat kondisi psikologis tertentu, seperti depresi, stres, atau kecemasan. Harvard Health Publishing juga menyebutkan bahwa sekitar 65 persen pasien depresi juga melaporkan bahwa setidaknya mereka merasakan satu jenis gejala nyeri atau sakit di tubuhnya. Selain mengganggu aktivitas sehari-hari, depresi dan stres juga dapat meningkatkan persentase penyakit kronis dan serius yang berakibat fatal, seperti hipertensi dan gangguan jantung.


Keluhan psikosomatis memang cukup sulit untuk dikenali, karena gejala yang ditunjukan seringkali tidak spesifik dan tidak didasari pada penyebab organik seperti infeksi atau trauma fisik pada bagian tubuh tertentu. Oleh karena itu, jika kita mengalami gejala psikosomatis seperti ini, kita perlu lebih waspada dengan gangguan-gangguan fisik yang bisa terjadi dengan tiba-tiba. Gangguan kesehatan yang sering menyertai serangan depresi di antaranya:


1. Jantung berdebar atau nyeri

2. Berkeringat dingin

3. Otot terasa kaku

4. Sakit kepala belakang

5. Menurunnya imunitas tubuh atau sering sakit

6. Gangguan pencernaan seperti, maag, refluk asam lambung, GERD, dan perut kembung

7. Yang sering terjadi pada wanita di antaranya, rasa letih dan perubahan jadwal menstruasi

8. Yang sering terjadi pada pria di antaranya, nyeri dada, peningkatan tekanan darah, tidak bergairah


Bagaimana Caranya Agar Terbebas dari Gangguan Psikosomatis?


Perubahan mindset dan menghindari sumber stres merupakan upaya terbaik untuk mengurangi gangguan psikosomatis yang melanda. Namun, jika kamu mengalami gangguan ini alangkah baiknya kamu segera berkonsultasi dengan tenaga medis. Kamu mungkin memerlukan terapi khusus seperti terapi kognitif, hipnosis, atau terapi meditasi, tergantung pada kondisi psikologis yang kamu alami. Salah satu kuncinya adalah lebih terbuka dan ceritakan masalah yang kamu alami pada orang-orang terdekat dan ahli kesehatan.


Dalam masa pemulihan kamu mungkin juga perlu mengonsumsi beberapa obat penunjang, seperti antidepresan untuk mengurangi serangan depresi, antasida untuk mengurangi nyeri maag, obat-obatan anti nyeri, multivitamin, dan sebagainya. Kesehatan mental dan fisik memang sama-sama perlu dijaga teman. Yuk, lebih sering berpikir positif dan perbaiki pola hidup kita menjadi lebih baik, agar kesehatan kita terpelihara dengan baik seutuhnya.




Referensi:

Journal titled “The Role of Diet in the Management of Non-Ulcer Dyspepsia” published on Middle East Journal of Digestive Disease (Vol 7 - 2015).

Diakses pada 13 September 2020: Alodokter, Healthline, Health Central, Science Daily, EatingWell, VeryWellMind, Psychology Today, Harvard Health Publishing



Bagikan artikel ini:

0 Komentar

Berikan Komentar

Login